Bekerja sebagai pegawai pemerintah masih menjadi dambaan mayoritas bagi semua orang. Meskipun masih berstatus honorer. Paling tidak, judulnya sudah bekerja di perkantoran.
“Itu anak saya. Baru tamat kuliah sekarang sudah kerja di kantor pemerintahan. Kuliahnya S1 di Bandung,” kata ibu Dian, salah seorang ibu rumah tangga kepada ibu lain sebayahnya yang kebetulan sedang duduk bersama ngerumpi di depan warung sekitar rumah mereka.
Singkat cerita, Si ibu ini membahas soal anak gadisnya itu yang bisa masuk kerja karena dibantu pamannya yang kebetulan menjabat sebagai kepala bidang di salah satu dinas setempat.
“Setiap hari masuk ke kantor. Kalau pagi repotnya minta ampun. Semua keperluannya disiapkannya. Mulai bajunya disetrika. Sampai sepatu disemir. Katanya biar kece ala ala anak perkantoran,”katanya.
Ia mengaku, anaknya biasanya berangkatnya pagi jam 08.00 pulang 16.00 sore hari. Begitu setiap harinya. Ia begitu bangga karena baru masuk kerja si anak bisa dapat posisi strategis sebagai operator komputer yang tugasnya melayani di bidang adimistrasi pemerintahan.
Di selah pembicaraanya itu, ibu Dian bertanya kepada ibu yang sedang menjadi teman ceritanya itu yakni ibu Tina. Ia pun menjawab. Berikut kutipan cerita mereka:
Ibu Dian: Kalau anak anda sudah kerja dimana?
Ibu Tina: Anak Saya belum punya kerja menetap. Kebetulan sekolahnya hanya setingkat SMA. Jadi belum bisa masuk kerja diperkantoran kaya anak ibu
Kebetulan ia lelaki. Sekarang anak saya mengojek di pangkalan. Sejak tamat dari SMA almarhum ayahnya berinisiatif kreditkan sepeda motor supaya si anak bisa ada kegiatan sehari-hari.
Tetapi penghasilannya lumayan. Seharian bisa dapat Rp. 50.000 X 30 hari. Jadi sebulan itu bisa dapat Rp. 1.500.000.
Kalau anak ibu. Gaji diperkantoran lebih besar ya bu?
Dian: hemm. Kalau gaji yah….mungkin seperti itulah.
Katanya dengan singkat seraya menutup pembicaraan mereka.
Anak ibu Dian adalah satu dari ribuan pegawai honorer yang sedang berkerja di lingkup pemerintah daerah xxx…tugasnya sebagai tenaga pembantu ASN di bidang pelayanan tekhnis dan administrasi di instansi struktural.Nasibnya sama dengan tenaga honorer lainnya yang kerap akan menunggu pembayaran gaji per tiga bulan realisasinya.
Bagi anda honorer yang kebetulan membaca tulisan ini pasti sudah mulai melebarkan bibir. Seyum kecil, malu-malu. Asalkan jangan bikin malu. Heheh.
Bukan maksud untuk membongkar aib .tapi tulisan ini sengaja penulis mengangkat untuk membantu saudara-saudari memfasilitasi perasaan dan fikiran anda kepada pemangku kebijakan tertinggi daerah. Supaya dapat diberi perhatian dan kebijakan yang setara dengan nilai jasa pengabdian para tenaga honorer ini.
Sebelumnya izinkan penulis memberikan penjalasan rasional tentang upah yang layak.
Gaji para honorer di pemerintah daerah rata-rata sebesar Rp. 500.000 per bulan. Jika dibagi 30 hari kerja paling banyak Rp. 16 ribu per hari upah para honorer yang disisipkan oleh kas daerah. Sangat minim dari standar upa minimum yang seharusnya.
Paling tidak jika Pemda membayarkan per tiga bulan berarti total upah para honorer yang diterima sebesar Rp. 1.500.000. Apakah ini layak?. Honorer berijazah sarjana harus menunggu selama 3 bulan supaya penghasilannya setara dengan pendapatan tukang ojek sebulan.
Mengenai problem ini. Pemerintah harus memberikan solusi.
Ibarat pepatah. Sumur di seberang lautan lebih kelihatan nyata ketimbang gajah yang ada dipelupuk mata. Jangan terlalu jauh memikirkan nasib rakyat di luar sana. Sebelum kita memikirkan nasib rakyat di dalam rumah.
Para pelayan di tatanan kerja birokrasi harus ditunjang dengan kesejahteraan yang baik. Termasuk para honorernya. Rendahnya upah mereka bisa dapat mempengaruhi standar pelayanan prima di lingkup pemerintah daerah. Dampaknya dalam urusan ini dalam hal pelayanan tekhnis dan adminstrasi bisa bermuara pada praktik pungli.
Wajar sajalah. Karena hanya cara pintas seperti ini yang bisa mendongkrak penghasilan mereka. Ketimbang mengharapkan gaji bulanan yang nilainya sekecil itu.
Sehingga, bagaimana mungkin gagasan Pemkab dapat mengoptimalkan kerja tim zyber pungli di lingkungan kerja pemerintahan. Bila pencegahannya tidak dimulai dari hulu hingga hilir. (***)