UNAAHA, Kepala Badan Pemberdayaan Desa (BPMD) Kabupaten Konawe , Sulawesi Tenggara (Sultra) Keny Yuda Permana mengaku, sampai saat ini masih merasa ambigu tentang istilah desa fiktif yang saat ini ramai diperbincangkan dipublik.
Menurutnya, terjadi sangsi dalam mendefinisikan desa fiktif. Hal itu dikatakannya saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (26/8/2019).
“Kalau menurut saya sesuai terjemahan fiktif itu adalah fiksi atau imajinasi dan menyangkut sesuatu yang tidak nyata,”jelasnya.
Namun kenyataannya, berjumlah 56 desa yang saat ini sedang dalam proses lidik oleh aparat penegak hukum (APH) itu, kata dia, selain teregistrasi dalam administrasi pemerintahan secara berjenjang mulai tingkat kabupaten dan pusat juga memiliki wilayah dan penduduk. Juga dalam hal komposisi pemerintahanya juga terstruktur memiliki kepala desa, DPD sampai pada aparat pemerintahan terbawah seperti RT dan RW.
Dan wilayah, aparat dan masyarakatnya itu ada.
“Mulai dari wilayahnya dan penduduknya termasuk aparat pemerintahannyaa itu nyata ada. Bukan hayalan jadi tidak pantas kita menyebut fiktif. Apalagi pada saat Pilkda dan Pemilu yang lalu desa itu memiliki TPS dan DPT serta pemilihnya ada. Sehingga saya agak kurang sepakat istilah tentang desa fiktif itu,”tuturnya.
Menurutnya, sesuai dengan syarat formal tentang pembentukan desa sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang desa. Tercantum tentang ketentuan tekhnis dan ketentuan administrasi. Dimana paling tidak memiliki wilayah dan penduduk. Dengan tujuan pemekaran untuk mendekatkan sistem pelayanan pemerintahan.
Ia mengaku, belum menjabat sebagai kepala BPMD saat desa tersebut terbentuk. Sehingga tidak terlalu mengetahui proses pembentukannya. Tetapi sepengetahuannya, desa tersebut telah melalui prosedur administrasi dan tekhnis yang berlaku karena telah melalui proses pembahasan di DPRD setempat sehingga terbit prodak Perda sebagai dasar hukumnya.
Dan menganai dengan ini, lanjut Keny, ia telah mendapat laporan tentang adanya pemeriksaan 56 desa kepada pihak APH. Namun bunyi dalam surat panggilan itu bukan atas perkara dugaan desa fiktif.
Tetapi pemanggilan pemeriksaan penyalagunaan anggaran yang menggunakan dokumen yang tidak sah.
“Saya belum melihat tentang adanya perkara tentang desa fiktif,”tutur Mantan Camat Wonggeduku Barat ini.
Ia menambahkan, mengenai dengan perkara tersebut, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada pihak yang berwenang yakni APH yang menangani perkara tersebut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (Red***)