Pertanyaan dalam bab diatas perlu dijawab?. Agar tidak menimbulkan interpretasi yang salah. Gejala munculnya istilah suku Mekongga akhir-akhir ini mulai menyeruak dipermukaan dan menimbulkan polemik, apakah penamaan suku Mekongga merupakan upaya mereduksi suku Tolaki?, atau obsesi untuk membangun komunitas etnik baru? Atau sebagai upaya oknum tertentu memecah belah komunitas Tolaki?.
Oleh: Basrin Melamba S.Pd., MA
Untuk menjawab benarkah ada suku Mekongga tidaklah muda tetapi memerlukan argumen secara ilmiah dan bertanggung jawab.
Ini perlu diungkapkan supaya tidak menyesatkan generasi muda maupun dari tinjauan pengembangan ilmu pengetahuan dan upaya melukiskan etnografi Sulawesi Tenggara, karena hampir setiap iven selalu disebut Suku Mekongga.
Bahkan dalam setiap kegiatan di pentas nasional selalu menyebut suku Mekongga, apa dasarnya? Adakah alasannya secara ilmiah?. Bukan tanpa evidensi bukti yang menguatkan tentang ciri-ciri sebuah suku bangsa dan yang terpenting apa yang membedakan dengan etnik Tolaki yang berada di Konawe.
Sebelum kita membahas betulkah ada suku Mekongga? Guna memahami sebuah konsep suku bangsa kiranya perlu diketengahkan beberapa pendapat mengenai suku bangsa. Terlebih dahulu diberikan pengertian konsep, dan teori dari pada etnik, dalam buku Antropologi menurut Narrol, 1964, umumnya kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang:
1. Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan.
2. Mempunyai nilai-nilaibudaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya.
3. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.
4. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lainnya.
Sebagai wujud upaya legitimasi adanya suku Mekongga maka beberapa tokoh di Kolaka membentuk Majelis Adat Mekongga yang diketuai oleh ibu Nur Sainab Lowa. Dan mereka menolak keberadaan DPP Lembaga Adat Tolaki (LAT) Sulawesi Tenggara, bahkan mereka meninggalkan arena sidang yang diadakan di Unaaha pada bulan Maret tahun 2010.
Padahal para tokoh budaya Tolaki di Mekongga (Kolaka) sebelumnya dalam beberapa tulisan mereka seperti C.H. Pingak, Nehru Dundu, Husein A. Chalik, Prof. Dr. H. Abdurrauf Tarimana, Arsamid Al Ashur, Pariama Mbio, SH. (tokoh masyarakat Kolaka), dan masih banyak lagi, tidak pernah sama sekali dalam tulisannya secara khusus mengatakan adanya suku Mekongga.
Lantas siapa dibalik tokoh yang mencetuskan suku Mekongga?, Apakah penulis atau tokoh yang mengemukakan argumen adanya suku mekongga, dapat menunjukan perbedaan dari berbagai aspek antara Tolaki yang berada di Kolaka dengan Tolaki yang berada di Konawe. Selanjutnya berapa orang yang mengaku sebagai suku Mekongga?.
Bukan persoalan pengakuan orang-perorang tetapi ciri-ciri yang melekat sehingga disebut sebuah satu kelompok etnik atau suku bangsa, dan data etnografi yang mendukung.
Jika kita mau jujur dalam laporan etnografi (berupa tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang Antropolog atas hasil penelitian lapangan (fiel work). Dalam tulisan Dr. Henriek van Der Klif sudah jelas menjawab pertanyaan diatas dalam tulisannya “een ander Tolaki van Mekonga” jika diterjemahkan berarti sesuatu atau tentang Tolaki di Mekongga.
Ini berarti bahwa suku Tolaki yang mendiami kerajaan Mekongga. Dalam peta atlas suku bangsa dunia hanya disebutkan suku Tolaki tidak ada suku Mekongga. Sama halnya penelitian Hanz Goozen, mengungkapkan bahwa daerah ini dihuni oleh etnik Tolaki.
Jika Tolaki di Konawe memiliki Kerajaan yaitu Kerajaan Konawe tapi tidak pernah mengikrarkan ataupun mengidentifikasi diri mereka sebagai suku Konawe. Pertanyaannya sebelum terbentuknya kerajaan Konawe apa nama suku tersebawsut?, jika demikian sama halnya dengan Tolaki di Mekongga/Kolaka, sebelum terbentuknya kerajaan Mekongga ataupun peristiwa Kongga, apa nama suku yang merupakan pendukung kerajaan dan budaya ini?
Dalam Bibliografi F. Kenedy tahun 1955 tidak secara khusus memberikan penjelasan adanya suku Mekongga yang ada suku Tolaki.
Antropolog kenamaan Prof. Dr. H. Abdurrauf Tarimana (ahli Antropolog Simbolik ketiga Asia Tenggara, dan urutan ke-10 doktor Antropologi di Indonesia) (Lihat Manase Malo, Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial di Indoensia, 1992), beliau banyak mengetahui dan meneliti mengenai etnografi di Sulawesi Tenggara. Menurut beliau secara tegas menyatakan suku Tolaki yang berdiam di Konawe dan Kolaka dengan istilah Tolaki Konawe dan Tolaki Mekongga. Padahal beliau merupakan manusia yang berasal dari Kolaka.
Secara asal usul dan ciri-ciri fisik antara Tolaki di Konawe dan Mekongga tidak ada perbedaan baik secara Arkeologis, linguistik, tradisi lisan, Menjadi pertanyaan sebelum terjadinya peristiwa pembunuhan Konggaaha, apa nama suku di daerah ini? Jika kita mengacu pada asal usul nama Mekongga yang mendasarkan pada peristiwa itu.
Antara suku Tolaki di Konawe dan di Mekongga memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dan tidak terbantahkan bersaudara kandung, Wekoila sebagai kakak, sedangkan Larumbalangi sebagai adik, Wekoila menjadi raja Konawe dengan gelar Sangia dan Larumbalangi dengan gelar Sangia Aha.
Pada masa pemerintahan Lombo-lombo di Kolaka mengawinkan anaknya bernama Teporambe dengan seorang Putri raja latoma di Konawe bernama Wunggabae, serta diberikan tiari atau warisan berupa wilayah kekuasaan Sabandara Latoma.
Pada saat itu ditempatkan satu orang Mokole yaitu wilayah yang menjadi warisan (tiari) dari kakeknya Buburanda (dengan gelar Sabandara i Wawolatoma) dari ibunya Wunggabae, daerah tersebut meliputi daerah Rate-rate, Sanggona dan Tawanga dengan menempatkan seorang Mokole bernama Tahoa yang berkedudukan di Lambadia (Rate-Rate).
Dalam menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan Konawe bagian Timur (Kendari), Teporambe mengadakan perkawinan politik yaitu mengawini Wehiuka putri raja Ranomeeto (Kendari), selanjutnya Teporambe mendapat hadiah perkawinan berupa wilayah kekuasaan meliputi daerah Rate-rate, Ladongi, Unembute, Mendoke dan Toari.
Salah satu identitas suku Tolaki sebagai fokus kebudayaan adalah kalo, kalo ini digunakan oleh suku Tolaki di Konawe maupun Suku Tolaki di Mekongga Kolaka. Jika demikian maka orang Mekongga di Kolaka jangan pakai Kalo sebagai unsur budaya yang selalu hadir pada setiap kegiatan mereka, hal ini dapat dipahami karena kalo merupakan simbol Tolaki.
Dari unsur kesenian hampir tidak ada perbedaan antara Tolaki di Konawe dengan Mekongga yaitu mengenal beberapa tarian seperti Lulo, Lariangi, nyanyian rakyat berupa sua. Termasuk peralatan keseniannya mulai dari gong tawa-tawa, karandu, ore-ore, kanda-kanda wuta, kanda-kanda oa, odimba, dan lain-lain. Bidang sastra seperti: kinoho, lolamoa, singguru (teka-teki), taenango (epos kepahlawanan), oanggo, sua-sua, kabia, dll.
Dari segi ukiran atau pati-patino (ukiran) memiliki kesamaan.
Upacara religi mengenal monahu ndau, upacara mesosambaikai, upacara mombaka owuta, upacara mosehe, upacara penguburan, upacara mombotudu, dan sebagainya.
Secara bahasa dari penelitian seorang ahli bahasa Belanda Dr. J. Esser (1926), dalam penelitian tahun 1925 menyatakan bahwa pengguna bahasa di daerah Sulawesi Tenggara adalah Tolaki yang terdiri dialek dari dialek Konawe dan Mekongga.
Penelitian Dr. Albert Cruitj tidak secara spesifik menyebut adanya bahasa Mekongga, yang ada bahasa Tolaki dialek Mekongga. Disusul penelitian G. W. Gouwelous, mengenai bahasa Tolaki, mereka berkesimpulan bahwa Bahasa Tolaki merupakan rumpun Bahasa Bungku-Laki.
Dalam penelitian Buhanudin, dkk, Pemetaan Bahasa-bahasa di Sulawesi Tenggara. Dalam hasil penelitian ahasa-bahasa daerah di Propinsi Sulawesi Tenggara oleh proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Sulawesi Selatan, bahasa Mekongga dilihat sebagai dialek bahasa Tolaki.
Dan penelitian mengenai suku bahasa di Sulawesi Tenggara, kerjasama SIL, penelitian Dr. T. David Anderson tidak pernah menemukan bahasa Mekongga sebagai bahasa tersendiri tetapi tetap masuk sebagai bahasa Tolaki dengan dialek Mekongga.
Berikut jumlah pengguna bahasa sekaligus sebagai suku Tolaki, untuk di kabupaten Konawe jumlah 280.000 orang merupakan suku dan memiliki Bahasa Tolaki lokasinya di seluruh daerah daratan Kabupaten Konawe dan Konawe Selatan. Juga di desa Wungkolo, pulau Wawonii.
Selanjutnya ia menjelaskan di Kabupeten Kolaka terdapat suku dan bahasa Tolaki dialek Mekongga. Jumlah penutur sekitar 50.000 orang lokasinya diseluruh Kabupaten Kolaka dan Kolaka Utara.
Jadi hanya karena perbedaan dialek kemudian di jadikan satu alasan untuk menamakan satu etnik atau suku, ini tidaklah berdasar dan secara historiS asal usul pengguna bahasa Tolaki baik di Konawe maupun di Mekongga adalah sama.
Dalam beberapa sumber Belanda tidak pernah disebutkan adanya suku Mekongga, dalam beberapa penulisan biasa ditulis dengan To Mekongga (artinya orang Mekongga), sama halnya kita katakan To Mowewe berarti orang Mowewe, To Latoma artinya orang Latoma, To Asinua artinya orang Asinua, To Sanggona artinya orang Sanggona, To Tawanga artinya orang Tawanga.
Menurut C. H. Pingak bahwa untuk membedakan asal suku Tolaki jang menduduki djazirah Sulawesi Tenggara jang sangat luas ini, maka orang-orang Tolaki dari Mekongga (Kolaka) disebut To Mekongga, artinja orang Mekongga. Selanjutnya dijelaskan orang Tolaki jang ada di Kendari, disebut To Konawe, artinja orang Tolaki jang berasal Konawe. Djelaslah bahwa suku bangsa jang mendiami djazirah Sulawesi Tenggara ini adalah suku bangsa Tolaki.
Dari segi aspek sosial Tolaki di Konawe dan Mekongga memiliki kesamaan yaitu panggilan seperti ina, ama, kaka, nduwai, pue, ela, hine, asa, naina, mama, dan lain sebagainya.
Pada aspek hukum adat dikenal dengan hohowi (Mekongga), O’sara (Konawe) pada aspek-aspek penerapan hukum sama perkawinan “perapua/pepakawia” dimulai dari: Mondiro, mesuko-suko, Tebua, Mombokondetoro, mombeekaako, dan perapua/Moowai pepakawia. Hampir sama dengan adat perkawinan di Konawe, yang berbeda masalah istilah, syarat-syaratnya, konsep penerapannya sama.
Mengenai hukum Adat Tolaki di Konawe dapat dilihat dari penelitian Drs. H. Muslimin Su’ud, SH.
Aspek ekonomi, sistem mata pencaharian Tolaki di Konawe dan di Kendari sama seperti: pranata mondau (berladang), sumaku (menokok sagu), dumahu (berburu), mekako (menangkap ikan di Rawa/sungai), sumomba (berlayar), dll.
Sistem teknologi memiliki kesamaan seperti sebutan rumah disebut raha, laika, poiha, (rumah adat di Konawe disebut laika aha, laika mbuu, laika mbinatipati, sedangkan di Kolaka disebut raha bokeo, juga disebut laika Bokeo) alat-alat rumah tradisional, perlengkapan perang sama (kinia, taawu), maupun perlengkapan teknologi lainnya.
Secara geopolitik, pada masa lalu daerah Kondeeha, Lapai, Lasusua, Watumendonga, Mowewe, Tawanga, Sanggona, Rate-Rate, dan beberapa daerah di Kolaka merupakan bekas wilayah Kerajaan Konawe.
Dari segi politik tahun 1950-an dijelaskan bahwa daerah Kawedanan Kolaka, merupakan swapradja Mekongga, yang bergabung dalam Swapraja Konawe Kendari dan Kolaka). Sehingga masalah keuangan antara Kolaka dan Kendari pada saat itu bergabung di sebut Kas bersama Konawe.
Hal ini dibuktikan dengan penelitian penulis di Arsip Daerah Sulawesi Tenggara terdapat beberapa surat maupun bukti membayaran dengan menggunakan stempel Kas Konawe berkop pemerintahan onderafdeeling Kolaka dan onderafdeeling Laiwoei. ***
Nama : Basrin Melamba S.Pd., MA
Lahir : Konawe, 15 Oktober 1977
Pekerjaan : Staf pengajar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UHO Kendari
Riwayat Pendidikan : S1 Sejarah Unhalu, S2 Ilmu Sejarah FIB UGM dan sekarang sedang menempuh studi S3 Konsentrasi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM Jogjakarta
Riwayat organisasi : Ketua Umum Dewan Pakar DPD Lembaga Adat Tolaki Kota Kendari periode 2011 sampai sekarang, dan aktif melakukan peneliti bidang sejarah dan budaya lokal di Sulawesi Tenggara, menghasilkan buku yang memiliki ISBN sebanyak 13 buah mengenai Tolaki, Moronene, dan Wawonii, , menulis di sejumlah jurnal terakreditasi nasional dan internasional. Aktif sebagai pemateri di berbagai kegiatan worshop, seminar, simposium dll, baik nasional maupun internasional.